Jakarta, Majalahtrass.com,- Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia ( MA RI ) Syarifuddin SH MH, dimohonkan untuk membebaskan Arifin alias Asen dari segala tuntutan hukum.
Selaku pemohon Kasasi atas Putusan Pengadilan tinggi DKI Jakarta No.157/PID/2021/PT.DKI, tertanggal 5 Juli 2021, atas tuduhan penggelapan, memohon kepada Hakim Agung yang memeriksa dan mengadili berkas perkara tersebut supaya meneliti dan memeriksa kembali alat bukti berkas perkara No.157/PID/DKI Jakarta tersebut.
Pasalnya, putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta terindikasi rekayasa dengan mengesampingkan keterangan saksi, alat bukti dan keterangan terdakwa.
Untuk itu, Hakim Agung sebagai tumpuan pengadilan yang terakhir bagi pencari keadilan, diharapkan dapat memeriksa ulang dan memberikan keputusan yang berdasarkan pembuktian hukum sebagaimana berkas memori kasasi yang disampaikan penasehat hukum terdakwa.
Sebelumnya, dimana memori kasasi terkait kejadian perkara yang sebenarnya disampaikan pihak terhukum, supaya Hakim Agung MA menjadikan sebagai pertimbangan hukum untuk menganulir dan menolak putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memvonis Arifin Alias Asen dengan hukuman 2 tahun penjara.
Hal ini disampaikan penasehat hukum Arifin alias Asen, Kartika Law Firm, Liliana Kartika SH, berkantor di Sudirman 7.8 Tower 16 th Floor-Unit 1& 2, Jl. Jendral Sudirman 7-8, RT.010, RW.011, Tanah Abang Jakarta Pusat.
Liliana Kartika menyampaikan hal itu, untuk memberi penjelasan terkait berita yang telah diterbitkan salah satu Media bertajuk ” Sudah bayar Rp1,4 Miliar untuk Beli besi, Cuma Dapat Janji Palsu.
“Selaku Kuasa hukum Arifin, ingin menjelaskan fakta yang sebenarnya. Betapa mirisnya dan betapa mahalnya bagi pencari keadilan untuk mendapatkan putusan yang seadil-adilnya bagi pencari keadilan yang ditengarai telah dizolimi, ” ucap Liliana.
Pemohon Kasasi meminta hakim MA menolak putusan pengadilan tingkat banding sebab, perkara tersebut tidaklah perkara penggelapan dalam bisnis beli besi sebagaimana disebutkan jaksa dalam tuntutan dan dalam putusan majelis hakim pengadilan tingkat banding yang menghukum Arifin kasus penggelapan.
Namun perkara yang sebenarnya menimpa Arifin alias Asen sebenarnya adalah perkara judi online.
Sebagaimana pembuktian perkara tersebut sudah dituangkan terdakwa dalam nota Pembelaan atau Pledoi nya saat diperiksa di Pengadilan negeri Jakarta Barat dan telah dituangkan pula dalam berkas permohonan memori kasasi di MA.
Akan tetapi, JPU dan Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tidak mempertimbangkan bukti dan keterangan saksi, serta alat bukti, dan keterangan terdakwa yang terungkap dalam persidangan, sehingga putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menghukum Arifin dinilai tanpa adanya alat bukti dan memutuskan putusan sepihak.
Oleh karena itu, selaku penasehat hukum, sudah menuangkan perdebatan hukum tersebut dalam memori kasasi untuk memohon kepada MA agar membuka tabir kebenaran yang hakiki terhadap Arifin alias Asen, ungkap Liliana Kartika, Jakarta ( 12/9/2021 )
Menurut Liliana Kartika, pada pertimbangan hukum dalam putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta itu, oleh Judex Factie seolah-olah telah mempertimbangkan seluruh keberatan-keberatan terdakwa dan penasehat hukumnya dalam memori banding.
Padahal, samasekali tidak memberikan kesempatan dan mempertimbangkan keberatan penasehat hukum pemohon Kasasi.
Selain itu, ” kekhilafan Hakim dalam menerapkan unsur dengan sengaja dan melawan hukum memiliki suatu barang sebagian atau seluruhnya milik orang lain tidak bisa diuraikan secara mendetail oleh Hakim Tinggi dalam amar putusannya.”
Anehnya lagi ancaman pidana untuk pasal 372 KUHP paling lama 4 ( empat ) tahun, artinya JPU menuntut dengan hukuman paling lama atau paling maksimal, sehingga dinilai tidak manusiawi, padahal terdakwa tidaklah terbukti dan tidak melakukan penggelapan sebagaimana yang telah diuraikan dalam memori banding yang telah diajukan.
Kalaupun terdakwa melakukan penggelapan, tuntutan JPU sangatlah tidak adil, karena terdakwa bukanlah seorang residivis yang telah berulang kali melakukan kejahatan dan harus dituntut dengan hukuman maksimal.
Padahal dalam requisitor JPU disebutkan hal-hal yang meringankan untuk terdakwa adalah, terdakwa berlaku sopan dipersidangan dan belum pernah dihukum.
Dengan demikian hal-hal yang meringankan untuk terdakwa yang dikemukakan JPU hanya formalitas saja, karena kalau mau menuntut dengan ancaman paling lama atau maksimal, tidak perlu dicantumkan hal-hal yang meringankan atau tidak ada hal-hal yang meringankan, sehingga sangat tidak beralasan tuntutan JPU yang menuntut ancaman hukuman paling lama 4 ( empat ) tahun.
Hal ini menunjukkan seolah-olah menunjuk JPU tidak profesional dan sangat dendam dengan terdakwa.
Jaksa bersangkutan dinilai tidak mengindahkan pernyataan Kepala Kejaksaan Agung ST Burhanuddin yang menyebutkan, ” Saya Tidak Butuh Jaksa Pintar Tapi Tidak Bermoral “. Kata Kajagung.
“Saya tidak nenghendaki para jaksa melakukan penuntutan asal-asalan tanpa melihat rasa keadilan di masyarakat. Ingat rasa keadilan tidak ada dalam Text Book tapi ada dalam Hati Nurani. Sumber dari hukum adalah moral dan didalam moral ada Hati Nurani,” tutur Jaksa Agung.
Sehingga tuntutan JPU dengan maksimal itu dinilai jaksa yang tidak bermoral dan tidak ada Hati Nurani,” ucap Liliana Kartika.
Sebagaimana kesaksian dalam persidangan, Wong Ivan Triguna yang dulunya bernama Agus Sudono berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI. No. 1149/PDT.P/2018/PN.IKT.BRT. Saksi istri pemohon Lestia Suryaningsih dan ayahnya Wijayanto.
Sebagai Pendidikan akhir STTB SD atas nama Agus Sudono No. O2 0A Oa 0341655, tanggal 12 Juni 1997 dari SD Kristen Cirebon. Alasan penggantian Agus Sudono karena nama tersebut membawa sial/ kurang beruntung.
Dimana, pada kutipan penetapan tahun 2018 tersebut, ada bukti yang menerangkan bahwa saksi Wong Ivan Triguna hanya berijazah sekolah dasar (SD) atas nama Agus Sudono, namun sesuai keterangan saksi Wong Ivan Triguna dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi tanggal 12 Agustus 2020, keterangannya berpendidikan S1 Manajemen.
Pemohon Kasasi menyebutkan, bahwa kelulusan sekolah saksi Wong Ivan Triguna suatu hal yang tidak mungkin sebab, pada tahun 2018 memberikan bukti hanya berijazah SD dan kemudian tahun 2020 saksi Wong Ivan Triguna sudah berijazah S1 ( Sarjana ). Oleh sebab itu, apabila saksi pada tahun 2018 memiliki ijazah SMA atau sederajat, maka syarat yang diajukan dalam penerapan ganti nama tersebut, seharusnya ijazah SMA sederajat.
Anehnya lagi tidak mungkin juga pada tahun 2020 sudah menjadi Sarjana dalam kurun waktu kurang dari 12 tahun. Sehingga patut diduga saksi membeli ijazah/gelar karena tidak melampirkan Pendidikan Terakhir yaitu bukti ijazah SMA sederajat dalam penetapan ganti nama tersebut, ” terangnya.
Selain itu, saksi Wong Ivan Triguna dinilai telah menunjukkan sifat yang tidak konsisten, mudah diduga telah mempermainkan suatu instansi dengan menyepelekan Lembaga Pendidikan dan Lembaga Peradilan. Sementara dalam perkara ini, pada kutipan keterangan saksi Wong Ivan Triguna, tidak mengetahui tentang PT. Pulsa Cepat Indonesia.
Bukti screen shot Wong Ivan Triguna dan istrinya Listianingsih diduga menggunakan uang Rp 1.450.000.000, PT Pulsa Cepat Indonesia tanpa izin dari Direktur Arifin.
Bukan hanya itu saja, cheque Bank Permata dengan No Rekening 00702318718 atas nama PT Pulsa Cepat Indonesia, sehingga dari penarikan uang tunai yang diberikan kepada istrinya itu, saksi Wong Ivan Triguna pasti mengetahui tentang adanya PT Pulsa Cepat Indonesia, karena saksi memerintahkan Pemohon Kasasi selaku Direktur PT Pulsa Cepat Indonesia, untuk membuat Cheque senilai Rp 1,450 miliar diambil Listia Suryaningsih istri saksi.
Namun saksi tidak mengakuinya sehingga telah membuat keterangan bohong dalam persidangan.
Terkait itu, bahwa Ko Hartono merupakan investor bohong dan dari hasil investigasi diketahui profesinya adalah hanya seorang penjual seblak sejak tahun 2019. Sebagai bukti kebohongan lainnya dari ko Hartono menyebutkan, Ko Hartono tidak kenal dan tidak pernah bertemu Arifin tapi anehnya bisa transfer uang miliaran rupiah. Menyebutkan, tidak ingat dan lupa jumlah yang ditransfer. Rp 1.400.000.000 atau Rp 1.460.000.000. Transfer angka keriting alias tidak bulat. Jumlah yang ditransfer saksi Ko Hartono tidak selalu genap seperti tersebut diatas, dimana ada angka satuan rupiah. Hal ini dilakukan hanya sebagai ” kamuflase ” dalam pencucian uang yang menggunakan sarana transfer antar bank. Tanpa ada keterangan berita di slip setoran uang itu digunakan untuk apa.
Padahal pada kenyataannya, Wong Ivan Triguna memerintahkan untuk mentransfer ke rekening Ko Hartono. Karena diduga rekening Ko Hartono adalah rekening beli. Dimana rekening buku tabungan yang aslinya sempat tercecer dibawah tangga rumah Arifin saat Wong Ivan Triguna, Lestia Suryaningsih, Hendy dan anjing mengacak-acak rumah Arifin. Saat itu Arifin tidak ada dirumah.
Menurut penasehat hukum, ada transaksi transfer 4 hingga 6 kali dalam satu hari total 130 transaksi transferan. Cicilan aneh dan tidak biasanya. Rekayasa investasi beli besi dimana keuntungan 5 persen dari Rp 1.400.000.000 sama dengan Rp 1.470.000.000 miliar, tapi dengan kelebihan transfer sebesar Rp 1.594.458.174 dengan kelebihan transfer Rp 184.458.174.
Sementara itu, Dakwaan jaksa keliru dimana jumlah Rp 137.137.193, berasal dari Arifin alias Asen sendiri, bukan uang dari Ko Hartono. Jumlah tersebut berasal dari rekening PT Pulsa Cepat Indonesia yakni Direkturnya Arifin. Transfer LLG ke rekening atas nama Ko Hartono.
Kesaksian palsu didalam persidangan yang disampaikan Ko Hartono tidak dapat menjelaskan asal usul Rp 137.137193 tersebut. Yang benar perhitungan dari Quickpay (judi online). Dalam keterangan saksi pegawai BCA bernama Melda, adanya transfer Ko Hartono ke rekening pemohon Kasasi sejumlah Rp 1.756.141.470. Selisihnya lebih sebanyak Rp 356.141470. Sementara saksi, ” Silva Dewi Marbun pegawai di Bank BCA, adanya transfer rekening BCA Nomor 6000088348 atas nama Ko Hartono dikatakan adanya jual beli besi, karena pembeli pasti menghitung berapa uang yang sudah dibayar atau dicicil kepada penjual, ” katanya.
Dalam perkara ini kekhilafan Hakim mengenai unsur berada dalam penguasannya bukan karena kejahatan. Majelis Hakim memberi pertimbangan hukum yang tidak cukup ( Onvoldoende Gemotiveerd ). Melihat dari fakta hukum dalam persidangan, bahwa majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tanpa mempertimbangkan alat bukti saksi yang lain dan alat bukti surat, serta seluruh keberatan-keberatan dalam memori banding sebagaimana yang telah diuraikan diatas. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta hanya membenarkan dan mengambil alih pertimbangan dari putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat tanpa memberi pertimbangannya sendiri.
Pasal 183 Undang-undang No 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana menyatakan, ” Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang cukup yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Sebab untuk memperoleh keyakinan dalam memberikan putusan, hakim harus memperhatikan minimal dua alat bukti yang diajukan dalam persidangan sehingga dalam mengambil keputusan berdasarkan keyakinan yang diperoleh dari alat bukti yang diajukan,” ungkapnya.
Majelis Hakim ( Judex Factie) hanya mempertimbangkan keterangan saksi-saksi Wong Ivan Triguna, Ko Hartono, dan saksi ini seharusnya diragukan.
Keterangan saksi Hendy dalam persidangan mengaku banyak lupa dan keterangan tidak sesuai dengan bukti yang diungkapkan di persidangan.
Dari video yang ditunjukkan dalam persidangan saksi Hendy menerima kartu-kartu rekening tampungan judi online. Saksi Hendy patut diduga telah memberikan keterangan palsu dimuka persidangan dan dibawah sumpah. Sehingga pemohon meminta Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk membebaskan Arifin alias Asen dari segala tuntutan hukum.**rry