Kekhawatiran BPK Pemerintah Tak Mampu Bayar Utang Semakin Membengkak

Majalahtrass.com,- Tingginya utang pemerintah terus membengkak akibat Pandemi Covid-19. Kondisi ini memicu kekhawatiran Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK ) terkait kemampuan pemerintah untuk membayar utang beserta bunga utang.

Menurutnya, Ketua BPK Agung Firman Sampurna menjelaskan, tren pertumbuhan utang sudah jauh melampaui pertumbuhan PDB. Hal ini, menurut dia, akan menimbulkan kekhawatiran terhadap menurunnya kemampuan pemerintah membayar utang.

Read More

“Tren penambahan utang yang memunculkan kekhawatiran penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang,” ujar Ketua BPK Agung Firmansyah dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa (22/6).

Dalam penjelasannya, Ia menjelaskan, indikator kerentanan utang pemerintah pada tahun lalu sudah melampaui batas yang direkomendasikan Dana Moneter Internasional (IMF) atau International Debt Relief (IDR). Rasio debt service Indonesia terhadap penerimaan sebesar 46,77, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35%. Rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan yang mencapai 19,06% juga melampaui saran IDR sebesar 4,6-6,8% dan rekomendasi IMF sebesar 7-10%.

Selain itu, rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369% juga melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167% dan rekomendasi IMF 90-150%. Hal lain, indikator kesinambungan fiskal tahun 2020 yang sebesar 4,27% melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411 – Debt Indicators, yaitu di bawah 0%.

Sebelumnya diberitakan, Kementerian Keuangan mencatat utang pemerintah hingga akhir tahun lalu melonjak 27% dari Rp 4.778 triliun pada akhir 2019 menjadi Rp 6.074 triliun. Lonjakan utang pemerintah terjadi akibat pelemahan ekonomi dan kebutuhan pembiayaan yang meningkat guna penanganan pandemi Covid-19 dan untuk pemulihan ekonomi nasional.

Menurut data APBN Kita edisi Januari 2021, rasio utang pemerintah terhadap PDB pada akhir tahun lalu ikut terkerek dari 30,9% pada 2019 menjadi 38,68%. Rasio utang tersebut juga lebih tinggi dari proyeksi pemerintah 37,6% terhadap PDB.

Dengan menanjaknya, pemerintah menegaskan rasio utang pemerintah masih berada di bawah batas maksimal yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara yakni 60% terhadap PDB. Utang pemerintah pusat didominasi surat berharga negara yang mencapai Rp 5.221,65 triliun atau 85,96% dari total utang pemerintah.

Dari total SBN tersebut, Rp 4.025,62 triliun dalam denominasi rupiah, sedangkan Rp 1.1963,03 triliun dalam valuta asing. SBN dalam denominasi rupiah terdiri dari surat utang negara Rp 3.303,78 triliun dan surat berharga syariah negara atau sukuk Rp 721,84 triliun.

Sedangkan SBN dalam valas berupa SUN Rp 946,27 triliun dan SBSN Rp 249,66 triliun. Selain itu dalam bentuk penerbitan SBN, pemerintah juga menarik utang dalam bentuk pinjaman Rp 852,91 triliun atau 14,04% dari total semua utang.

Dijelaskan, Pinjaman terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp 11,97 triliun dan luar negeri Rp 840,94 triliun. Pinjaman luar negeri berasal dari kerja sama bilateral Rp 333,76 triliun, multilateral Rp 464,21 triliun, dan bank komersial Rp 42,97 triliun.

Walaupun analisis keberlanjutan fiskal jangka panjang pemerintah telah mempertimbangkan berbagai risiko pengelolaan fisikal. Menurutnya, masih ada sejumlah itu.

Badan Pengawan Keuangan ( BPK ) telah menyoroti beberapa hal yang luput dan diperhitungkan pemerintah dalam analisis pengelolaan risiko. Hal tersebut mencakup semua beban fiskal terkait kewajiban program pensiun jangka panjang dan kewajiban dari putusan hukum yang sudah incraht, kewajiban penjaminan sosial, kewajiban kontinjensi dari BUMN, dan risiko Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dalam pembangunan infrastruktur.**Red

Related posts