JAKARTA, Majalahtrass.com,- Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, penyalahguna narkotika dan obat terlarang (Napza) narkotika merupakan korban sehingga wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Perlu diketahui, terapan hukum ini tertuang di dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 11 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penanganan Tersangka dan/atau Terdakwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi (Peraturan BNN 11/2014).
Sebelumnya, Di dalam aturan tersebut, juga berbunyi hak untuk sembuh dan mendapatkan perawatan dari jeratan narkotika. Isi perarturan tersebut mengatakan pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika yang tanpa hak dan melawan hukum sebagai tersangka dan atau terdakwa dalam penyalahgunaan narkotika yang sedang menjalani proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan di pengadilan diberikan pengobatan, perawatan dan pemulihan dalam lembaga rehabilitasi.
Namun dalam aturan tersebut ternyata menyebabkan hukum menjadi abu abu dan banyak celah yang didapat oleh para oknum penegak hukum untuk memeras para korban pecandu narkotika.
Tidak kita pungkiri beberapa tempat rehabilitasi narkotika milik pemerintah memang sudah menjalani terapan ketentuan hukum, sehingga tempat rehabilitasi pemerintah selalu penuh sehingga celah ini yang dipakai para kolega kolega dari para oknum penegak hukum akhirnya bermain dan menyediakan yayasan rehabilitasi swasta yang jauh dari standarisasi nasional.
Hal ini, dari pantauan dilapangan sebuah rumah rehabilitasi swasta yang berdiri di daerah Jatiwaringin, tepatnya di komplek Bina Lindung, Bekasi Jawa Barat, tidak memiliki standartrisasi menjadi rumah rehabilitasi untuk para korban pecandu Napza.
Diketahui, Dirumah ini yang berdiri seluas kurang lebih 200 meter persegi tersebut menampung puluhan para korban yang diketahui tertangkap anggota Reskrim Narkoba namun saat diamankan mereka tidak memilik barang bukti, namun dari hasil penyidikan para korban positif urine pemakai Napza.
Sementara dirumah tersebut, pengurus yayasan sering kali meminta sejumlah uang yang sangat tidak masuk akal dengan dalih biaya perawatan para korban. Bahkan beberapa waktu lalu, ada dua kakak beradik yang diamankan pihak kepolisian, keduanya tidak mempunyai alat bukti narkoba, namun salah satu kakak beradik tersebut saat di periksa urinenya memang positif zat Napza, tapi adiknya tidak terbukti dan negatif, akan tetapi kakak beradik tersebut tetap di rujuk ke yayasan rehabilitasi yang berada di daerah Jatiwaringin.
Awalnya mereka di paksa untuk membayar sejumlah biaya sebesar 20 juta perkepala, namun setelah beberapa jurnalis datang dan melakukan negosiasi, yayasan tersebut akhirnya melepas kedua korban, namun tetap ada biaya yang dikeluarkan sejumlah 2juta rupiah.
Menurut salah satu pengurus, uang tersebut mereka minta untuk subsidi biaya para korban yang masih dalam perawatan mereka.
Selain itu juga, yang lainnya mengalami berbeda dengan apa yang dialami Reza Ptatama, warga jalan KS Tubun, Jakarta Pusat, Reza mengatakan diri memang seorang pemakai narkotika jenis Shabu saat ditangkap, dirinya tertangtangkap oleh satuan reserse narkotika Polsek Tanah Abang, Jakarta Pusat pada bulan September tahun 2020 silam, dan dirinya direhabilitasi di yayasan rehabilitaai Andalas yang berada di wilayah Jatiwaringin Bekasi.
Reza mengaku saat direhabilitasi di Andalas, Reza melihat para korban lainnya mendapat intimidasi fisik dari para karyawan yayasan.
Di dalam rumah rehabilitasi Andalas tersebut, Reza mengakui bahwa yayasan tersebut tidak melakukan rehabilitasi atau pengarahan psikologi.
“Saya setengah bulan berada di yayasan yang berada di Jatiwaringin, Komplek Bina Lindung itu mas, selama 15 hari saya melihat para karyawan yayasan rehabilitasi itu melakukan intimidasi fisik kepada para korban,” tukas Reza.
Selain itu juga, ditambahkannya saat di dalam yayasan Andalas tersebut, dirinya tidak mendapatkan makanan yang layak,
“Kita didalam tempat rehab tidak lebih dari binatang, mereka hanya memberikan makanan sehari 3 kali namun posinya sangat dibawah standart kesehatan,” lanjut Reza.
Dikatakannya, selama 15 hari itu Reza berhasil keluar dari yayasan tersebut karena pihak keluarga membayar sejumlah uang sebesar 7 juta rupiah.
“Saya bisa keluar karena saya bayar mas 7 juta, sebelumnya mereka meminta uang sebanyak 10 juta, karena gak ada lagi ya gimana keluarga saya akhirnya membayar 7 juta,” tegas Reza.
Menurut Bambang Suranto Ketuaj Presidium Indonesian Civilian Police Watch, yang ditemui nawacitapost di bilangan Jakarta Selatan menjelaskan bahwa kasus kasus pemerasan yang mengatasnamakan yayasa rehabilitasi tersebut sudah berlangsung sejak lama.
“Jadi untuk modus tersebut sudah lama beredar dan beroprasi, seharusnya pihak penegak hukum itu. tidak boleh melakukan tindakan tindakan manipulasi kepada para korban penyalahgunaan narkotika, jadi tindakan meminta uang dengan jumlah tertentu yang dilakukan pihak yayasan swasta dengan dalih pembiayaaan itu sangat sangat tidak diperbolehkan dalam penanganan kasus penyalah guna. narkotika, apalagi para korban tidak menerima kurikulum rehabilitasi saat mereka berada di yayasan tersebut,” terang Bambang, Rabu (15/09).
Menanggapi masalah transparansi mengenai biaya untuk rehabilitasi lebih lanjut Bambang mengatakan sebaiknya, yayasan jangan memanipulasi dengan mengemplang biaya yang sangat fantastis.
“Kita sudah tau manipulasi biaya yang sangat tinggi terssbut dilakukan oleh pihak yayasan juga ada panjang tangan oknum dari penegak hukum yang sedang bermain cantik agar mereka selamat dari jeratan hukum pengaman internal,” tutup Bambang.**rry